Posted by: Hendra Siry | 13 May, 2008

Jejak Rekam Alharhum Drs. Andi Asoka, M.Hum, Abang Saya Tercinta

Posting berikut ini adalah salah satu jejak rekam almarhum abang saya tercinta (Drs. Andi Asoka, MHum, dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas) yang saya temukan dengan fasilitas Google. Beliau yang banyak memberikan saya pengenalan akan dunia akademis serta persinggungan dengan dialog dalam kaidah serta kerangka yang logis. Beliau anak tertua di keluarga saya dan satu-satunya saudara laki-laki saya.

Saya mengucapkan terima kasih pada Abang Bersihar Lubis yang memuat hasil wawancaranya dengan almarhum abang saya di majalah GAMMA.

===

GAMMA Nomor: 40-3 – 27-11-2001

KOBOI SOMBRERO MENGANCAM RUMAH GADANG”

Bersihar Lubis

SENJA itu tiba-tiba aku ingin berbicara dengan dua sahabat yang jauh dari Jakarta. Satunya adalah Zulqaiyyim. Lainnya adalah Andi Asoka. Keduanya adalah dosen jurusan sejarah di Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang. Asyik juga. Kugunakan fasilitas teleconference, lalu kuhubungi dua nomor telepon kedua rekan yang suka berbicara tentang ikonologi, ilmu tentang patung, lambang, atau logo.

Setelah “mohon maaf lahir batin menyambut puasa Ramadan yang suci”, dari seberang kudengar sebuah pernyataan, “Bung, ikon itu amat filosofis.” “Sebab, sebuah lambang mengandung sebuah visi dan misi dari sebuah lembaga, atau apa pun,” kata Zulqaiyyim. “Bahkan, dapat pula membangkitkan rasa percaya diri,” kata Andi Asoka, menyambar percakapan. “Atau bahkan perang, bila damai semakin jauh,” kataku. Kudengar tawa renyah keduanya. Namun, aku terhening ketika Andi Asoka berbicara tentang kasus Semen Padang justru dari perspektif ikonologi, sejarah, dan kebudayaan. Bukan dari pandangan ekonomi dan politik yang menjemukan dan sok tahu itu.

Zulqaiyyim berkisah bahwa logo PT Semen Padang (PTSP) pertama kali diciptakan pada 1910, semasih bernama Nederlandsch Indische Portland Cement (Pabrik Semen Hindia Belanda). Logonya berbentuk bulat, terdiri atas dua lingkaran (besar dan kecil) dengan posisi lingkaran kecil berada di dalam lingkaran besar. Di antara kedua lingkaran tersebut terdapat tulisan “Sumatra Portland Cement Works”. Di dalam lingkaran kecil terdapat huruf N.I.P.C.M, singkatan Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappij, sebuah pabrik semen di Indarung, 15 km di timur kota Padang.

Logo itu hanya berumur 3 tahun karena pada 1913 dibuat sebuah logo baru, meski bentuk bulat dengan dua garis lingkaran dan kata-katanya tetap dipertahankan. Hanya saja, NIPCM ditambah dengan NV. Nah, ini yang menarik: ada gambar seekor kerbau jantan dalam lingkaran kecil tampak sedang berdiri menghadap ke arah kiri dengan latar panorama alam Minangkabau. Gambar ini menggantikan posisi huruf NIPCM sebelumnya.

Eh, logo itu diubah lagi pada 1928. Kata Nederlandsch Indische diubah menjadi Padang. Jadi, tulisan di antara kedua lingkaran tersebut adalah N.V. Padang Portland Cement Maatschapij. Di bagian bawahnya tertulis Fabrik di Indarung Dekat Padang, Sumatera Tengah, yang ditulis dengan huruf yang lebih kecil. Wah, telah muncul bahasa Melayu, setelah Sumpah Pemuda pada 1928. Dalam lingkaran kecil, selain gambar kerbau, terdapat gambar seorang laki-laki yang sedang berdiri di depan sebelah kanan kerbau sambil memegang tali kerbaunya. Ada pula gambar sebuah rumah adat, kelihatan hanya dua gonjongnya, di belakang sebelah kanan kerbau. Panorama di latar belakang ditambah dengan lukisan Gunung Merapi, lambang sumarak ranah Minang. Gambar kerbau tetap ditampilkan mendominasi di lingkaran kecil tersebut.

“Sejarah beredar, logo pun beredar, Bung Zulqaiyyim?” kataku. “Ya, Jepang kemudian datang membawa perubahan,” kata Zulqaiyyim. “Bahkan, Fort de Kock dan Buitenzorg digantinya dengan Bukittinggi dan Bogor. NV PPCM diganti dengan Semen Indarung. Logo PTSP tidak diubah, kecuali perubahan tulisan dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia,”
kata Andi Asoka. Demikianlah sampai Perang Kemerdekaan (1945-1949). Ada sedikit perubahan, yaitu digantinya tulisan Semen Indarung dengan Kilang Semen Indarung. Namun, saat Belanda kembali pada 1950, nama NVPPCM muncul kembali.

Logo PTSP dimodifikasi lagi, pada 1958, seiring dengan kebijakan pemerintah pusat tentang nasionalisasi perusahaan asing. Logonya yang bulat dipertahankan, tapi tulisan NV PPCM diganti dengan Semen Padang Pabrik Indaroeng. Gambar kerbau tetap ada. Tapi tiada lagi gambar seorang laki-laki, rumah adat, dan gambar panorama Gunung Merapi. Penggantinya adalah gambar atap rumah gadang dengan lima gonjong di atas gambar kerbau.

Logo PTSP diperbarui lagi pada 1970. Dua lingkaran dihilangkan, sehingga tulisan Padang Portland Cement Indonesia dibuat melingkar sekaligus menjadi pembatasnya. Gambar kerbau hanya menampilkan kepalanya saja dengan posisi menghadap ke depan. Di atas kepala kerbau dibuat pula gambar atap/gonjong (5 buah) rumah adat. Muncul
pula moto PTSP yang berbunyi “Kami Telah Berbuat Sebelum yang Lain Memikirkan”. Namun, pada 1972 logo tersebut dimodifikasi dengan memunculkan dua garis lingkaran: besar dan kecil. Perubahan terjadi lagi pada 1991, saat tulisan Padang Portland Cement menjadi Padang Cement Indonesia.

“Wah, logo PTSP sudah berubah delapan kali, dong,” kataku. “Tapi, bila disimak, benang merahnya tak pernah hilang,” kata Andi Asoka. Memang, persamaannya yang pertama terlihat dalam bentuk logo yang bulat/lingkaran. Yang lainnya, tetap menampilkan gambar kerbau. Empat logonya yang pertama (1913, 1928, 1950, dan 1958) memuat
gambar seekor kerbau sedang berdiri menghadap ke arah kiri, sedang 3 logo terakhir (1970, 1972, 1991) tetap menampilkan simbol kepala kerbau.

Yang tetap adalah gambar rumah adat. Pada dua logo (1928 dan 1950) hanya ada anjungan rumah adat sebelah kiri dengan dua gonjongnya. Empat logo terakhir menampilkan lima gonjong rumah adat yang terletak di atas gambar kerbau. Memang ada sedikit perbedaan antara logo tahun 1958 dan logo tahun 1970, 1972, dan 1991. Pada logo tahun 1958 gonjong tersebut menghadap ke kiri, sesuai arah kerbau,
sedangkan sesudahnya menghadap ke depan.

“Okelah. Namun, mengapa logo PTSP selalu menggunakan bentuk “bulat” dengan simbol “kerbau” dan “rumah adat?” tanyaku. “Sebab, kolonial Belanda paham antropologi, Bung. Saya duga mereka ingin memperlihatkan “saham” masyarakat Lubuk Kilangan khususnya dan Minangkabau umumnya, hatta kebanggaan penduduk lokal pun muncul,” kata Zulqaiyyim.

Memang, bentuk bulat (bulek) adalah lambang dari hasil suatu musyawarah. Kok bulek lah buliah digolongkan, kok picak lah buliah dilayangkan (kalau bulat sudah dapat digelindingkan, jika pipih sudah dapat dilayangkan). “Kalau begitu, bisa ditafsirkan bahwa pendirian Semen Padang merupakan kesepakatan antarninik mamak di Nagari Lubuk Kilangan dengan pemerintah Hindia Belanda,” kataku. “Ha-ha-ha, bila saja Anda masih lajang, Anda bisa menjadi urang sumando,” kata Andi Asoka terbahak-bahak.

Kolonial Belanda tak buruk belaka. Mereka juga menghargai nilai sejarah dan budaya Indonesia. “Politik utang budi” pun telah dulu dicanangkan sebelum Semen Padang berdiri pada 1910. Buktinya, hanya berselang tiga tahun Semen Padang berdiri, muncullah logo yang menampilkan gambar kerbau. “Kerbau jangan hanya dilihat karena
memiliki kekuatan, tetapi juga sangat erat kaitannya dengan mitos Minangkabau,” kata Andi Asoka.

Tak ayal, Zulqaiyyim bersorak dan berkata bahwa Minangkabau, menurut tambo, berasal dari menang dan kerbau.

Alkisah, ketika pasukan dari luar Sumatera menyerbu Ranah Minang, para pemuka adat berunding untuk menghadapi musuh yang banyak dan tangguh. Musuh tidak dihadapi secara fisik, tetapi diajak bertarung berupa “adu kerbau”. Para penghulu memilih anak kerbau yang sedang menyusu, sedangkan pasukan lawan menampilkan seekor kerbau besar. Ketika “perang” dimulai, anak kerbau yang telah diberi “tanduk” langsung mengejar kerbau besar itu dan menyerunduk untuk menyusu. Sang kerbau besar tidak menghiraukannya, sehingga perut kerbau besar itu pun tabusai (berserakan) ditanduk si anak kerbau. Telah menang sang kabau, berubah menjadi Minangkabau.

Kemudian, Andi Asoka memetik Prof. Nasroen dalam bukunya Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Menurutnya, masyarakat Minangkabau sengaja memilih totem kerbau karena mengandung filosofi, yaitu konflik dalam keseimbangan. “Jika dibandingkan dengan binatang lainnya yang menundukkan kepalanya untuk menunjukkan ketundukannya kepada siapa yang di depannya, kerbau menundukkan kepala justru
hendak melakukan penyerangan kepada siapa yang ada di hadapannya,” kata Andi Asoka.

Filosofi itu menunjukkan adanya pertentangan dalam keseimbangan, yakni antara individu dan masyarakat. Dalam masyarakat Minangkabau tidak dikenal istilah individualisme, dan sebaliknya juga tidak mengenal istilah totaliterisme. Keberadaan individu dan masyarakat diakui dengan konsep seorang untuk bersama dan bersama untuk seorang.

Rumah adat Minangkabau alias rumah gadang melambangkan kebesaran pemiliknya. Bisa pula berupa balairung, tempat bersidang para ninik mamak untuk membicarakan kemaslahatan anak nagari, sebuah nilai-nilai demokrasi Minangkabau. Semua anggota keluarga mempunyai hak yang sama untuk menyampaikan pendapatnya. Hasilnya
sedapat-dapatnya dimufakati secara bulat, sehingga tidak ada yang merasa dikalahkan atau sebaliknya.

Ya, ya. Aku semakin mafhum mengapa masyarakat Sumatera Barat memperjuangkan spin-off alias pemisahan diri dari Semen Gresik, dan sekaligus menolak rencana put option, penjualan saham pemerintah sebesar 51% kepada Cemex Meksiko. Sebab, jika sampai Cemex menguasai saham Grup PT Semen Gresik Tbk. sampai senilai 25% + 51%, dikhawatirkan Cemex akan mempunyai wewenang menetapkan harga semen sesuka hatinya. Memang, untuk jangka pendek dapat membantu beban keuangan negara yang berat. Tapi, untuk jangka panjang, tidak mustahil rakyat akan terbebani, seperti yang terjadi di Filipina sekarang.

Apabila itu terjadi, mungkin, Andi Asoka akan menangis sembari menyanyikan kembali lagu Elli Kasim, yang salah satu baitnya mempunyai sampiran yang berkaitan dengan keberadaan Semen Padang:
Sajak pabirik di Indaruang, lori bajalan di ateh kawek.
Sajak maningga mande kanduang, nasi diminta sumpah nan dapek
“.
(Semenjak pabrik didirikan di Indarung, lori berjalan di atas kawat. Semenjak meninggal ibu kandung, nasi diminta sumpah yang dapat)

Bait lagu itu pula, dalam mimpi buruk Zulqaiyyim, akan mengiringi pergantian logo Semen Padang menjadi seekor kuda yang ditunggangi oleh seorang koboi yang memakai topi sombrero dari Meksiko. Tidak ada lagi rumah gadang……dan sang kerbau pun akan menundukkan kepalanya.

-Bersihar Lubis, Wartawan

GAMMA Digital News: Bersih, Berani, Mandiri – Interaktif!
(c) Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang, 1999. – Webmaster info


Responses

  1. saya juga pernah baca dari email pak Revrisond Baswir

    nice article 🙂

    boleh saya link?

  2. […] Posting terkait: Jejak Rekam Almarhum Drs. Andi Asoka M. Hum, Abang Saya Tercinta […]

  3. Terima kasih atas kunjungannya di blog saya. Monggo.

  4. Cerita yg unik

  5. Vira, terima kasih atas kunjungan dan komentarnya

  6. Woih, mantap pulo web site Uda awak ko. Agiah taruih Da!


Leave a reply to Hendra Siry Cancel reply

Categories